RAHASIA
SUKSES ORANG JEPANG
MALU
Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang.
Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era
samurai, yaituketika mereka kalah dan pertempuran.
Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena
“mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat
masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin
adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau
tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan
memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di
tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar
peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
HIDUP HEMAT
Orang
Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme
berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal
mulai
kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang
ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik,
ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan
memotong
harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti
diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.
LOYALITAS
Loyalitas
membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi.
Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang
yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua
perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari
Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian
mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business)
perusahaan
INOVASI
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai
kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk
yang diminati olehmasyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony
Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya
dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan
dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama
puluhan tahun adalah AkioMorita, founder dan CEO Sony pada masa itu.
Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman
lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan
kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang,
Patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan
inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan
murah.
PANTANG MENYERAH
Sejarah
membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang
menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke
luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi.
Ketika
restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan
menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang
menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan
kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk
Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30%
wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945,
dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya
Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo.
Ternyata
Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil
membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin
cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir
tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu
merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan
bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan
orang
ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain.
Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa
ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai
diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).
BUDAYA BACA
Jangan
kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik),
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku
atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di
densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik
bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.
Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat
minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung
oleh kecepatan dalam proses
penerjemahan
buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda
penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya
institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya
terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku
asingnya diterbitkan.
KERJA SAMA
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja
yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya
ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia
kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan
tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok
mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang
professor Jepang akan kalah dengan satu
orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika
tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok”.
Musyawarah mufakat
atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam
kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
MANDIRI
Sejak
usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Anak-anak TK di Jepang. Dia harus
membawa
3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti,
buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di
Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung
jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah
hampir
sebagian
besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Mereka mengandalkan kerja part time
untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka
“meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan
berikutnya.
JAGA TRADISI
Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa
Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah
untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf
masih menjadi reflek orang Jepang.
Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak
pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf
duluan. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” apabila
mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan
dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang. Pertanian
merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena
masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah
pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya.
Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan
pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk
orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan
salah satu yang tertinggi di dunia.
adijaya18@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar